Sabtu, 20 Februari 2010

Muhkam dan Mutasybihat dalam Quran

alam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan istilah ayat-ayat muhkam dan juga terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan sebutan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat Muhkan adalah ayat sudah jelas makna dan maksudnya, sedangkan Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memilki banyak interpretasi makna, dan oleh karenanya sering menimbulkan permasalahan dalam pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Sebenarnya bagaimana ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat? Tulisan berikut mudah-mudahan dapat memberikan sedikit pencerahan bagi pembaca sekalian.

1. Makna Muhkam

Al-Qur’an (baca ; ayat-ayat suci Al-Qur'an) semuanya adalah muhkam. Ungkapan ini dimaksudkan bahwa kemuhkaman Al-Qur'an mencakup lafadh dan keindahan nadhamnya, (baca ; susunan dan rangkaian kata & kalimatnya) sunguh sangat sempurna¸tak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafadhnya, maupun dalam segi maknanya. Dan dengan pengertian seperti inilah Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagaimana yang Allah tegaskan dalm firmannya :
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS. 11 : 1)

2. Makna Mutasyabih
Dan kita dapat juga mengatakan, bahwa seluruh Al-Qur’an (ayat-ayatnya) adalah mutasyabih, jika yang kita maksudkan dengan kemutasybihannya adalah kemutamatsilan (yaitu serupa atau sebanding) antara ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghoh maupun dalam bidang I’jaz dan kesulitan kita menampakkan kelebihan sebahagian sukunya atau yang lain. Dengan pengertian inilah Allah swt berfrman :
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, (QS. 39 : 23)

3. Beberapa pendapat ulama
Makna ihkam dan tasyabuh (baca; muhkam dan mutasyabi) dalam pengertian bahwa ayat-ayat Al-Qur'an seluruhnya muhkam atau mutasyabihat (sebagaimana yang dibahas di atas) bukanlah yang kita maksudkan dari muhkam dan mutasyabihat yang akan kita bahas. Namun yang perlu digaris bawahi pula adalah bahwa yang mennyebabkan kita mengatakan istilah muhkam dan mutasyabih, landasannya adalah firman Allah :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3 : 7)

Didalam ayat itu telah dinyatakan, bahwasanya muhkam ialah imbangan (baca; lawan) dari mutasyabih. Dalam artian bahwa sebagai orang yang rasikh (mendalam) ilmunya adalah imbangan (baca; lawan) dari orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para Ulama telah mnjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-pendapat mereka dalam maudhu/ tema ini yang bermacam pula .

Namun demikiann pada akhirnya mereka menetapkan, bahwasanya yang dikatakan muhkam adalah “yang menunjukkan kepada maknanya dengan jelas”, sedikitpun tak ada yang tersembunyi padanya. Sedang mutasyabih ialah : yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk pada maknanya. Maka masuklah ke dalam muhkam : nash dan dzahir (jelas). Dan ke dalam mutasyabih : mujmal, muawwal dan musykil . Karena lafadh mujmal memerlukan penjelasan. Lafadh muawwal, tidak menunjukkan kepada suatu makna, terkecuali sesudah ditakwil, sedang musykil, tersembunyi petunjuknya. Pada pokoknya ada kesamaran dan kemubhaman.

Jelasnya, adalah pada ayat-ayat yang muhkam, menyebabkan kita tidak perlu membahasnya, karena dengan kita membacanya, kita telah mengetahui apa maksudnya. Tapi tersembunyinya maksud dari ayat-ayat mutasyabih, itulah yang menyebabkan kita membahasnya, supaya kita mengetahui kemudian menjauhi dari golongan orang-orang yang didalam jiwanya ada kesesatan.

  • Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang mutasyabih tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah SWT sendiri dan mereka mengharuskan kita berwaqaf (baca; berhenti) dalam membaca Surat Ali Imran ayat 7 pada lafadh jalalah :

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلبَابِ
Dan tidak ada yang mengetahui maknanya melainkan Allah. Adapun orang-orang yang rasikh ilmuny , maka mereka hanya mengatakan : “aamannaa bihii kullun min indi rabbina” ( Kami beriman kepadanya semuanya itu dari pada Tuhan kami)”.

  • Sedangkan Abu Hasan al Asy’ari berpendapat bahwa waqof (berhenti membaca) dilakukan pada: “warrasikhuuna fil ilmi “, dengan makna bahwa; mereka yang rasikh itu mengetahui takwil mutasyabih. Pendapat ini dijelaskan oleh Abu Ishak Asy Syirozi (wafat pada th 476 H) dan mendapatkan pembelaan dari beliau. Asy Syirazi berkata: tak ada satupun dari ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah sendiri mengetahui maknanya “Para Ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firmannya ini dalam rangka menguji para ulama. Andaikata mereka tidak mngetahui makna mutasyabih, bersekutulah mereka dengan orang-orang awam.

  • Ar-Raghib al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga bahagian :
  1. Bahagian yang tak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi , keluar binatang dari bumi dan yang sepertinya.
  2. Bahagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadh-lafadh yang ganjil dari hukum-hukum yang sulit/rumit.
  3. Bahagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebahagian ulama yang rasikh ilmunya, tidak diketahuinya oleh sebahagian yang lain.

Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas ra, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى كَتِفِي أَوْ عَلَى مَنْكِبِي شَكَّ سَعِيدٌ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ - رواه أحمد
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW meletakkan tangannya di atas bahuku, kemudian berkata, Ya Allah jadikanlah dia seorang yang fakih dalam agama dan ajarkanlah takwil kepadanya” (HR. Ahmad)

Pendapat ar-Raghib inilah yang imbang, tidak ifrath dan tidak tafrith. Dzat Allah dan hakikat-hakikat sifat-Nya tak ada yang mengetahuinya selain dari Allah sendiri. Dalam pengertian inilah mengatakan dalam doanya :
أنت كما أثنيت غلى نـفسك لا أحصى ثناء عليك
“Sebagaimana engkau telah menyanjung diri engkau . Aku tak dapat menghinggakan puji dan sanjung atas diri engkau”

Dalam membahas fawatihus Suwar, kita akan ketemukan berbagai takwil yang diberikan para ulama. Semua pendapat para ulama berkisar pada permasalahan hikmah wujudnya (fawatihu Suwar), bukan sekitar hakikat-hakikatnya. Maka di dalam ketidak mampuannya manusia menemukan hakikat-hakikat itu. terasalah oleh manusia kelemahannya. Dan diapun mengucapkan :
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاََ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Kami mengakui kesucian Engkau, tak ada ilmu bagu kami terkecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya. Engkau adalah Tuhan yang senantiasa mengetahui lagi senantiasa menyelesaikan sesuatu dengan hikmah.” (QS. 2: 32)

Ayat-ayat yang musykil mengenai sifat-sifat Allah, diantaranya adalah seperti firman Allah SWT berikut :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy. (QS.20 : 5)

Ar-Razi dalam tafsirnya menerangkan hikmah yang diterangkan sifat-sifat yang mutasyabih, belaiu berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an melengkapi dakwah kepada orang-orang khusus dan dakwah kepada orang-orang umum.” Para ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihah, mempunyi dua madzhab :
  1. Madzhab Salaf, yaitu : mengimani sifat-sifat yang mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikat kepada Allah sendiri.
  2. Madzhab Khalaf, yaitu : mempertanggung jawabkan(mentakwilkan) lafadz yang mustahil dhahirnya kepada makna yang layak dengan dzat Allah

Ulama salaf mensucikan Allah dari kenyataan –kenyatan yang mustahil dan mengimani apa yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahklan urusan hakikat nya kepada Allah SWT. Sedangkan Ulama khalaf memaknakan istiwa’ dengan ketinggian yang berupa maknawi yaitu mengendalikan alam ini tanpa merasa payah, memaknakan kedatangan Allah dengan kedatangan perintah-Nya, memaknakan Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, memaknakan “janbillah” dengan hak Allah, memaknakan wajah dengan Dzat,memaknakan “ain dengan “inayat”, memaknakan yad dengan qudrat dan memaknakan nafs dengan siksa.

Sementara para khalaf mentakwilkan sifat-sifat mutasyabihah dengan jalan mempertanggung jawabkannya kepada majaz yang terdekat, sehingga makna dari ayat-ayat mutasyabihat tersebut dapat lebih difahami.

Namun sebagai hamba Allah SWT, hendaknya kita memiliki kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Jangan sampai kita "terjebak" dalam penta'wilan yang tidak ada nash dan dasarnya, yang justru akan menjerumuskan pada pemahaman yang keliru. Namun hendaknya juga jangan "enggan" untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an, karena kita masih dapat merujuk ke kitab-kitab tafsir (bil ma'tsur) untuk dapat memahami maksud dan makna yang terkandung di dalamnya.



Wallahu A’lam Bis Shawab

Manhaj Yang Benar Dalam Mentadaburi Al-Qur'an



Muqaddimah

Al-Qur'an merupakan sumber utama bagi kehidupan umat Islam, baik dari segi hukum, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, da'wah, budaya, dan lain sebagainya. Dan seperti inilah seharusnya umat Islam berinteraksi dengan Al-Qur'an. Karena Allah SWT ketika menurunkannya, berkeinginan agar Al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, guna mencapai kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Geneasi awal umat ini, telah membuktikannya, dengan menjadikan Al-Qur'an "segalanya" dalam hidup mereka. Rasulullah SAW pun - sebagaimana dikatakan oleh Aisyah ra, bahwa akhlaknya adalah Al-Qur'an. Beliau merupakan refleksi Al-Qur'an yang berjalan dan tertafsrikan dalam bentuk amaliah seorang insan. Sahabat-sahabat beliau juga demikian, hingga mereka mendapatkan gelar "khairul qurun".
Prestasi ini mereka peroleh, karena sikap mereka ketika berinteraksi dengan Al-Qur'an mencerminkan refleksi yang luar biasa. Sayid Qutub menggambarkannya dalam tiga faktor; pertama, karena mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya. Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebainya. Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan apa yang diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya. Dengan kitiga hal inilah, Utz Sayid Qutub (1993;14) mengatakan, bahwa bahwa tidak ada sebuah generasipun yang muncul dan memiliki prestasi keimanan sebagaimana para sahabat. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya satu dua tokoh yang dapat menyamai keimanan para sahabat, namun tidak dengan jumlah besar, sebagaimana jumlahnya para sahabat, dalam satu masa dan satu masyarakat yang telah tertentu.
Mentadaburi Al-Qur'an; itulah langkah awal yang diperlukan guna dapat mengamalkan dan mengaplikasikan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW pun melarang mengkhatamkan Al-Qur'an kurang dari tiga hari. Karena hal tersebut dikhwatirkan akan menafikan makna dari bacaan kita sendiri, dan menghilangkan tadabur dari tilawah kita.

Makna Tadabur.
Ditinjau dari segi bahasanya, tadabur berasal dari kata "tadabaro" yang memilki arti memikirkan atau merenungkan:
تدبر يتدبر تدبرا
Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya (II/225) menggemukakan bahwa asal tadabur adalah memperhatikan/ merenungkan dibelakang sesuatu (setelah sesuatu selesai dilakukan);
وأصل التدبر: النظر في أدبار الشيء
Sedangkan Imam al-Alusi, mengemukakan juga dalam tafsirnya, bahwa asal pengertian tadabur adalah; merenungkan sesuatu, setelah selasai dilaksanakan. Kemudian istilah ini digunakan untuk segala perenungan, baik ditinjau dari hakekat sesuatu, bagian-bagiannya, sesuatu yang telah lalu, sebab-sebabnya atau yang akan datang berikutnya dan setelah selesai dilaksanakannya.
وأصل التدبر: التأمل في أدبار الأمور وعواقبها، ثم استعمل في كل تأمل سواء كان نظرا في حقيقة الشيء وأجزاءه أو سابقه وأسبابه أو لواحقه وأعقابه

Sedangkan definisi secara istilahnya, tadabur al-Qur'an (sebagaimana dikemukakan Imam al-Suyuthi) berarti:
تأمل معانيه وتبصر ما فيه
"Merenungkan ma'ani-ma'aninya, dan memikirkan segala sesuatu yang dikandungnya."

Pada intinya, (penulis berpendapat) bahwa tadabur adalah sebuah cara untuk memahami ayat secara lebih mendalam, dengan meunggunakan metode tertentu dan cara tertentu yang sesuai dengan kemampuan kita, guna memperdalam ma'ani imaniyah dan kualitas ruhiyah sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Urgensi Tadabur Dalam Kehidupan Da'i dan Mu'min
1. Mentadaburi merupakan perintah Allah SWT, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Qur'an (47:24):
أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها
"Maka apakah mereka tidak memtadaburi al-Qur'an, ataukan hati mereka terkunci?"

2. Tadabur penting guna memahami isi kandungan / ma'ani al-Qur'an. Karena tadabur pada hakekatnya merupakan miniatur penafsiran al-Qur'an, atau dengan bahasa lain bentuk sederhana dari penafsiran al-Qur'an, yang tujuan utamanya adalah untuk pengisian ruhiyah dan memperkaya imaniah.

3. Tadabur merupakan sarana untuk menambah keimanan kepada Alllah SWT. Dalam al-Qur'an Allah berfirman (8 : 2):
إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iaman mereka dan kepada Rabnyalah mereka bertawakal.”

4. Tadabur juga diperlukan guna mengejewantahkan al-Qur'an dalam kehidupan nyata, baik yang bersifat politik, da'wah, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Karena bagaimana mungkin mengamalkan al-Qur'an jika tidak didahului dan dibarengi dengan pemahaman serta pentadaburan.

5. Tadabur juga merupakan salah satu wasilah yang dapat digunakan untuk menyelami rahasia diantara rahasia-rahasia Allah, yang tersimpan dibalik firman-firman-Nya.

6. Tadabur diperlukan juga dalam kehidupan mu'min dan da'i sebagai bahan perenungan diri dan muhasabah dalam perjalan hidupnya.

7. Tadabur juga merupakan pelita yang dapat memberikan kekuatan ekstra (dopping) dalam ruhiyah seseorang, terutama bagi para da'i, yang dapat memberikan semangat baru, iltizam baru, dan azimah yang baru, hingga ia mampu untuk berbuat lebih banyak dan banyak lagi.

8. Tadabur juga merupakan sarana untuk menggerogoti dan menghilangkan karat-karat yang melekat pada hati insan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن القلوب تصدع كما يصدع الحديد،
قالوا وما جلاءها يا رسول الله؟ قال تلاوة القرآن وذكر الموت.
“Sesungguhnya hati manusia itu memiliki potensi untuk berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Sahabat bertanya, kalau demikian maka apakah pengikisnya wahai Rasulullah SAW?, beliau menjawab, tilawatul Qur’an dan dzikrul maut.” (HR. Tabrani)

Tilawah yang dapat menghilangkan karat-karat hati, tentulah tilawah yang dibarengi dengan pentadaburan makna-maknanya.


Faktor-faktor yang Menunjang Keberhasilan Tadabur
Penulis melihat terdapat beberapa faktor yang dapat menunjang keberhasilan tadabur, diantaranya adalah:
1. Hendaknya tadabur didasari dengan niat yang bersih; ikhlas dan pasrah semata-mata kepada Allah SWT, dengan menyatukan keinginan hati kita, dengan keinginan lantunan ayatt-ayat yang kita baca. Sehingga hati kita dapat larut dalam lautan ayat-ayat-Nya.

2. Guna mencapai keoptimalan dalam mentadaburi Al-Qur'an, ada baiknya jika kita memperhatikan adab-adab dalam membaca dan mentadaburi al-Qur'an. Seperti mencari tempat yang sesuai, bersih dan suci, kemudian diusahakan menghadap qiblat dan lain sebagainya. Lebih baik lagi, jika tadabur didahului dengan wudhu, sehingga kesejukan lebih merata menempa jiwa dan raga kita, serta hidayah Allah lebih mudah menembus fisik kita memasuki hati.

3. Hendaknya dihadirkan pula sebuah keinginan yang kuat, bahwa tujuan pentadaburan kita adalah untuk mengamalkan ma'ani-ma'ani rabbani dalam kehidupan nyata, atau paling tidak memiliki tujuan untuk memperkuat dan memperkaya ruhiyah kita dengan pesan-pesan ilahi.

4. Tadabur akan semakin sesuai dengan asholahnya, jika kita juga memperhatikan alat-alat bantu (baca; wasilah) dalam mentadaburi al-Qur'an, seperti memahami asbabunnuzul, makna mufradat, dsb.

5. Ketika al-Qur'an telah berada di tangan kita, hendaknya kita membuang jauh-jauh hawa nafsu dan keinginan-keinginan duniawi dari hati kita.


Metodologi Tadabur Yang Benar
Bagaimanapun juga, tadabur masih merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur'an meskipun sederhana. Oleh karena itulah, dibutuhkan juga sebuah metode penafsiran yang shahih, meskipun juga dalam bentuknya yang sederhana. Terdapat beberapa cara penting guna mentadaburi al-Qur'an, yang jika seluruhnya tidak bisa dilakukan, maka tidak boleh pula ditinggalkan secara keseluruhan. Artinya, perlu ada upaya untuk memenuhi manhaj dalam pentadaburan al-Qur'an:
1. Mentadaburi ayat-ayat al-Qur'an, dibantu dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an lainnya yang dapat menjelaskan ayat tersebut. Seperti ketika mentadaburi ayat yang berbicara mengenai ulul Albab, (3: 190), kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksud dengan ulul albab adalah orang-orang yang senantiasa ingat kepada Allah, baik ketika berdiri, duduk dan tidurnya. Kemudian selalu merenungi tentang ciptaan-Nya baik yang ada di langit maupun di bumi…dst.

2. Mentadaburi al-Qur'an dengan metode memahaminya dari sunnah. Seperti ketika mentadaburi ayat 92 surat Ali Imran, yaitu bahwa orang tidak dapat meraih kebaikan, hingga ia menginfakkan sesuatu yang paling dicintainya. Dalam hadits dijelaskan (HR. Bukhari Muslim), bahwa Abu Thalhah ketika mendengarkan ayat ini, segenar mendatangi Rasulullah SAW, untuk menginfakkan tanahnya (bairuha') yang sangat indah dan strategis guna kepentingan Islam…

3. Mentadaburi al-Qur'an dengan aqwal sahabah (perkataan sahabat Rasulullah SAW), sebagai generasi yang paling memahami ayat-ayat Allah. Seperti ketika mentadaburi ayat tentang riya' seperti QS. 8: 47, di mana dalam ayat tersebut tidak disebutkan tentang ciri-ciri orang yang riya'. Kita dapat menggunakan perkataan sahabat, Ali bin Abi Thalib misalnya, yang menggambarkan ciri-ciri orang yang riya' sebagai berikut;
للمرائي علامات: يكسل إذا كان وحده، ينشط إذا كان مع الناس،يزيد في العمل إذا أثنى وينقص إذا ذم
Orang yang riya' memiliki beberapa ciri; malas apabila sendiri, semangat bila berada dihadapan orang banyak, bertambah giat jika mendapat pujian dan mengendur semangatnya apabila mendapat celaan.

4. Mentadaburi dengan merujuk ke pengertian dan kaidah bahasa arab. Karena bagaimanapun juga, Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Imam Syahid mengatakan; ".. dan memahami al-Qur'an hendaknya sesuai dengan kaidah bahasa Arab tanpa penyimpangan dan juga tanpa dibuat-buat (dipaksakan)…"

5. Mentadaburi al-Qur'an dengan menggunakan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur'an, seperti ilmu qiraat, asbabunnuzul, dsb.

Kemudian sekiranya hal-hal di atas terasa sulit dilakukan, maka dapat pula dengan menggunakan terjemah al-Qur'an, sebagai alat bantu dalam memahami dan mentadaburi ayat-ayat yang menjadi bahan renungan kita. Pada intinya, jangan sampai ayat-ayat, berlalu begitu saja, tanpa ada penghayatan, perenungan dan sebuah usaha untuk memahaminya. Allah sudah memberikan peringatan kepada kita:
أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها
"Maka apakah mereka tidak memtadaburi al-Qur'an, ataukan hati mereka terkunci?"

Penutup
Membaca tanpa merenungi kandungan al-Qur'an merupakan salah satu hal yang dikemukakan oleh Syekh Ibrahim bin Adham (w.162), sebagai penyebab matinya hati. Akankah seorang da'i membiarkan hati, sebagai satu-satunya pemberian Allah yang dapat menghubungkan antara bumi dan langit menjadi mati? Marilah kita bersama memperbaiki tilawah kita, baik dari segi bacaannya, pemahamannya maupun pengimplementasiannya dalam kehidupan riil. Agar dapat muncul ke dunia ini, generasi-generasi sebagaimana generasi sahabat ridwanullah alaihim.

Wallahu A'lam Bishowab.
By. Hilman Ibnu Mahdi ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar