Sabtu, 20 Februari 2010

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ، قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ، قَالَ وَمَعْنَى قَوْلِهِ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ يَقُولُ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسَبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ - رواه الترمذي
Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.' (Imam Turmudzi) mengatakan, 'bahwa hadits ini adalah hadits hasan. Dan makna dari sabda Rasulullah SAW ( دان نفسه ) 'menhisab/ mengevaluasi dirinya' adalah ( حاسب نفسه في الدنيا قبل أن يحاسب يوم القيامة ) ‘orang yang menghisab (mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’ (HR. Turmudzi)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1 Sebagai seorang muslim, hendaknya kita selalu melakukan muhasabah (baca ; evaluasi) dalam setiap aktivitas kehidupan kita, baik menyangkut aspek kehidupan dunia (aspek pekerjaan) maupun juga aspek kehidupan akhirat. Karena berdasarkan hadits di atas, bahwa orang yang cerdas (baca ; sukses) adalah orang mengevaluasi dirinya sendiri dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya. Muhasabah atau evaluasi dapat dilakukan setiap pekan, setiap bulan, setiap triwulan, setiap semester, atau setiap setahun sekali. Dan di akhir tahun seperti ini (hari ini jum'at 11 Desember 2009, bertepatan dengan tanggal 24 Dzulhijjah 1430 H, yang merupakan hari jumat terakhir di tahun 1430 H), merupakan waktu yang sangat baik untuk kita mengevaluasi atau melakukan muhasabah, dengan harapan mudah-mudahan hari esok (baca ; tahun 1431 H) lebih baik daripada hari ini (baca ; tahun 1430 H).
2 Mengevaluasi atau menghisab diri sendiri sangat penting dalam kehidupan seorang muslim. Karena dengan evaluasi, seseorang dapat mengetahui porsinya dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT, baik terkait dengan orang lain (muamalah dan pekerjaannya), maupun terkait dengan hubungannya secara langsung kepada Allah SWT. Dan demikian pentingnya evaluasi, hingga banyak ungkapan dari salafuna shaleh tentang evaluasi (muhasabah) diantaranya adalah :
a. Muhasabah akan meringankan hisab di yaumul akhir. Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khatab ra, mengatakan :
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ اْلأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
Umar bin Khatab ra berkata, ‘hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.

b. Muahasabah merupakan ciri dan karakter orang beriman. Maimun bin Mihran ra, salah seorang tabi'iin (40h - 117h) dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ لاَ يَكُونُ الْعَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ مِنْ أَيْنَ مَطْعَمُهُ وَمَلْبَسُهُ
Dan dari Maimun bin Mihran bahwa ia berkata, seorang hamba tidak diakatan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya.

c. Muhasabah merupakan kunci kesuksesan seseorang di dunia maupun di akhirat, - sebagaimana di sebutkan dalam hadits diatas -, bahwa orang yang cerdas (baca ; sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya sendiri dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya...
d. Setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur'an :
وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا - مريم 95
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.”

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (النور : 24)
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

3 Evaluasi atau muhasabah, hendaknya berimbang dalam aspek kehidupan baik dunia maupun akhirat. Ibarat dua sayap burung yang sedang terbang, kedua sayap harus bergerak seimbang. Demikian juga kita perlu seimbang dalam mengevaluasi antara aspek duniawi dan aspek ukhrawi. Tidak seyogianya, muhasabah dilakukan hanya pada aspek dunia saja; seperti aspek pekerjaan, penghasilan, target dan sebagainya, namun muhasabah juga harus dilakukan pada aspek kehidupan akhirat, seperti aspek ibadah kepada Allah SWT. Diantara hal-hal yang perlu dievaluasi dalam kehidupan kita adalah sebagai berikut :
a. Aspek Ibadah ( الجانب التعبدي )
Evaluasi aspek ibadah sangat penting, karena ibadah merupakan esensi dari keberadaan kita di dunia ini sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Dan tidaklah Aku mencipkatan jin dan manusia, melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariyat : 56). Oleh karenanya aspek ibadah perlu menjadi perhatian besar bagi setiap muslim dalam melakukan evaluasi atau muhasabah. Secara garis besar, ibadah mencakup dua hal ; ibadah yang wajib dan ibadah yang sunnah.
Ø Ibadah Wajib ( الفرائض )
Ibadah wajib adalah ibadah yang tidak bisa tidak, harus dikerjakan oleh setiap muslim. Ibadah yang wajib ini minimal sekali adalah ibadah yang terdapat dalam rukun Islam; seperti shalat, puasa, zakat dan juga haji. Masing-masing dari ibadah ini perlu kita evaluasi, seperti pada aspek shalat; sudah sempurnakan shalat kita? Apakah kita mengerjakannya tepat pada waktunya? Berjamaah di masjidkah shalat kita?, dsb. Apabila kita mendapatkan kelemahan pada sisi shalat, misalnya jarang berjamaah di masjid, maka kuatkan azam untuk senantiasa dapat shalat berjamaah di masjid, pada tahun 1431 H yang akan datang. Demikian juga dengan aspek puasa (ramadhan). Apabila kita merasa banyak kekurangan dalam sisi ibadah puasa ramadhan tahun 1430 H ini, misalnya masih banyak waktu digunakan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat di bulan ramadhan. Maka tahun 1431 H ini, harus lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Demikian juga dengan zakat dan juga ibadah haji.
Ø Ibadah Sunnah ( النوافل )
Rasulullah SAW sendiri memberikan perhatian yang demikian besarnya pada aspek ibadah sunnah. Perhatikan saja sebagaimana yang diakatakan Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW shalat malam hingga kedua kakinya bengkak-bengkak. (HR. Bukhari Muslim) Kemudian bagaimana juga antusias beliau dalam berpuasa sunnah, dalam berdzikir, dalam memperbanyak istighfar dan taubat, dalam berbuat ihsan, dsb. Oleh karena itulah, hendaknya ibadah-ibadah sunnah yang kita lakukan dievaluasi, untuk kemudian membuat program ibadah sunnah untuk tahun 1431 H yang lebih baik daripada tahun 1430 H.
b. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )
Alhamdulillah, kita bekerja pada lingkungan pekerjaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan keimanan kepada Allah SWT. Namun walau bagaimanapun juga kita semua adalah kumpulan manusia-manusia biasa, yang sangat mungkin terpeleset dalam lembah yang sangat dibenci Allah SWT, seperti praktik risywah, melalaikan amanah, mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, manipulasi absensi, menjilat atasan – menginjak bawahan – sikut kiri kanan, ikhtilat dengan lawan jenis, dsb (na'udzubillah min dzalik). Hal-hal tersebut perlu kita evaluasi, untuk kemudian kita lakukan perbaikan pada tahun yang akan datang. Rasulullah SAW mengingatkan kita bahwa kelak pada yaumul hisab, semua akan dipertanyakan oleh Allah SWT, termasuk di dalamnya perihal perolehan rizki kita. Demi Allah, bahwa Rp 500,- yang kita dapatkan pun kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah SWT (perhatikan teks hadits yang digaris bawahi):
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ - رواه الترمذيٍ
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; 1. umurnya untuk apa dihabiskannya, 2. masa mudanya, kemana dipergunakannya, 3. hartanya darimana ia memperolehnya & 4. kemana ia membelanjakannya, 5. serta ilmunya sejauh mana diamalkannya?’ (HR. Turmudzi)

Alangkah meruginya seseorang, yang apabila kelak di akhirat ia tidak bisa mempertanggung jawabkan rizki yang perolehnya, atau ada sesuatu yang “haram” masuk ke dalam rekening atau ke dalam kantongnya. Karena demi Allah, itu semua kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah SWT. Para ulama mengatakan, bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah “berhati-hati” dalam sisi halal dan haramnya rizki. Hadits di atas menggambarkan bahwa orang yang tidak bisa menjelaskan rizkinya yang diperolehnya dalam kehidupannya di dunia, kelak tidak bisa menggerakkan tapak kakinya dihadapan Allah SWT.
c. Aspek kehidupan sosial (hubungan antara sesama manusia)
Aspek ini juga merupakan aspek yang sangat penting untuk dievaluasi. Karena manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan orang lain dalam menjalankan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Kita perlu mengevaluasi berkenaan dengan hubungan kita terhadap orang lain. Misalnya, apakah selama ini kehadiran kita “menentramkan” orang lain yang ada disekitar kita?, atau justru sebaliknya; kehadiran, perkataan dan juga perbuatan kita selama ini menyakitkan hati orang atau bahkan mendzalimi orang lain? (na'udzubillah min dzalik). Sebuah hadits shahih mengingatkan kita :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak punya uang dan tidak punya harta benda.” Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang kepada Allah SWT pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat. Namun ia juga datang membawa (dosa) suka mencela si Fulan, menuduh si Fulan, memakan harta si Fulan, mencederai darah si Fulan dan memukul si Fulan dsb. Maka akan diberikanlahlah pahalanya kepada si Fulan dan si Fulan (orang-orang yang didzaliminya). Dan apabila pahala kebaikannya telah habis sebelum ia menuntaskan kepada orang-orang yang didzaliminya, maka diambillah dosa-dosa mereka lalu dilemparkan kepadanya, lalu ia pun dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)

4. Selain evaluasi atau muhasabah, setiap muslim juga perlu menanamkan visi dalam hidupnya, yaitu bahwa orientasi hidupnya adalah untuk kehidupan setelah kematiannya. Hadits diatas menggambarkan demikian, bahwa orang yang cerdas (bacaa ; sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya”. Sehingga sesungguhnya visi setiap muslim tidak hanya terbatas pada 5, 10 atau 20 tahun yang akan datang. Namun visi seorang muslim adalah menembus dimensi kehidupan dunianya, hingga ke dimensi kehidupan akhirat (kehidupan setelah kematiannya). Apabila visi seperti ini tertanam dalam diri setiap muslim, maka dapat dipastikan (insya Allah) bahwa dalam bekerja, beraktivitas, beribadah, dan dalam segala ativitas hidupnya, ia akan hanya memiliki orienasi kepada Allah dan karena Allah SWT semata. Dan inilah sesungguhnya implementasi dari firman Allah SWT :
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (QS. Al-An'am : 162)
Jadi ternyata, untuk menjdi hamba Allah sejati yang dapat memasrahkan segala-galanya kepada Allah, cukup dimulai dengan dua hal sederhana dan dapat kita lakukan mulai sekarang juga, yaitu : pertama muhasabah (evaluasi) diri sendiri, dan kedua memiliki visi (beramal) untuk kehidupan akhiratnya. Jadi marilah kita mulai dari sekarang, untuk melakukan muhasabah serta menanamkan visi yang menembus dimensi kehidupan dunia, ke dimensi kehidupan akhirat kita.

Wallahu A'lam Bis Shawab.
By. Hilman Ibnu Mahdi ST
PT.Frudential

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ - رواه الجماعة إلا مسلم والنسائي

Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari di mana amal saleh itu lebih disukai oleh Allah SWT daripada hari-hari ini (yakni hari pertama hingga kesepuluh Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya, 'Ya Rasulullah, meskipun dibandingkan dengan berjihad fi sabilillah?' Beliau menjawab, “Ya, meskipun dibadingkan dengan berjihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang pergi (berjihad) membawa nyawa dan hartanya, kemudian tidak satupun diantara keduanya itu yang kembali (mati syahid)” (HR. Jamaah, kecuali Imam Muslim dan Nasa'i)


Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Bahwa bulan dzulhijjah merupakan salah satu bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan Allah SWT), yang memiliki banyak keutamaan, dimana kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amal shaleh. Diantara keutamaan bulan Dzulhijjah ini adalah sebagai berikut :

    1. QS. Al-Fajr : 1-2 :

َوالْفَجْرِ* وَلَيَالٍ عَشْرٍ*

Demi fajar dan demi malam yang sepuluh.

Ibnu Katsir berkata, yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah.


    1. QS. Al-Hajj : 28

وَيَذْكُرُوْا اسْمَ اللهِ فِيْ أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ...*

Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan...

Ibnu Abbas ra berkata, yang dimaksud adalah hari-hari sepuluh bulan dzulhijjah.


    1. HR. Bukhari dari Ibnu Abbas

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلاَ الْجِهَادُ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ رواه البخاري

Dari ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada amal perbuatan yang lebih utama daripada sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah ini”. Sahabat bertanya, 'Tidak juga jihad wahai Rasulullah?' Beliau bersabda, 'Tidak pula jihad, kecuali seseornag yang berjihad membawa jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali membawa sesuatu apapun.' (HR. Bukhari).


    1. HR. Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ماَ مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَلاَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ الْعَمَلُ فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ - رواه الطبراني

Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari yang dianggap lebih agung oleh Allah SWT dan lebih disukai untuk digunakan sebagai tempat beramal, sebagaimana sepuluh hari pertama di bulan dzulhijjah ini. Karenanya, perbanyaklah pada hari-hari itu bacaan tahlil, takbir dan tahmid”. (HR. Thabrani)


    1. Pandangan Ulama

Ibnu Hajar mengemukakan (dalam Fath al-Bari), 'Tampaknya sebab mengapa sepuluh hari dzulhijjah diistimewakan adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah utama, seperti shalat, shaum, shadaqah dan haji dan tidak ada selainnya waktu seperti itu.” Sebagian Ulama lainnya juga mengemukakan bahwa “Sepuluh hari dzulhijjah adalah hari-hari yang paling utama, sedangkan malam-malam terakhir bulan ramadhan adalah malam-malam yang paling utama.



  1. Oleh karenanya, pada bulan ini (khususnya di sepuluh hari pertama di bulan ini) kita dianjurkan untuk melakukan amal ibadah serta amal shaleh lainnya. Diantara amalan yang dianjurkan adalah sebagai berikut :

    1. Melaksanakan ibadah haji dan umrah, karena memang secara khusus bulan dzulhijjah merupakan bulan untuk pelaksanaan ibadah haji. Dan haji merupakan rukun Islam kelima dan pelaksanaannya relatif yang paling berat bagi kaum muslimin pada umumnya. Karena ibadah haji dan umrah, bukan hanya membutuhkan kesiapan spiritual, namun juga memerlukan persiapan fisik, mental dan juga materi yang cukup besar, ditambah lagi dengan waktu pelaksanaan yang membutuhkan waktu yang relatif cukup lama. Namun balasan yang akan Allah berikan kepada orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah juga sangat besar, yaitu kan dihapuskan segala dosa serta mendapatkan surga :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ - رواه البخاري

Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Umrah yang satu ke umrah yang lainnya adalah penghapus dosa-dosa antara keduanya. Dan haji yang mabrur tiada pahala yang pantas baginya melainkan surga.” (HR. Bukhari)


    1. Melaksanakan shalat fardhu serta memperbanyak shalat sunnah lainnya. Hal ini karena shalat merupakan ibadah yang sangat fundamental, yang bahkan dikatakan dalam sebuah riwayat bahwa yang membedakan antara seseorang itu mu'min atau kafir adalah dalam meninggalkan shalat. Dan kendatipun tidak disebutkan secara khusus baik dalam Al-Qur'an maupun dalam hadits sebagai amalan yang dianjurkan untuk dilakukan di bulan Dzulhijjah ini, namun dilihat dari “keumuman” hadits tentang keutamaan sepuluh hari pertama di bulan dzulhijjah, maka shalat juga termasuk amal shaleh yang paling utama untuk dikerjakan pada bulan ini. Maka usahakanlah sekuat tenaga kita, untuk menjaga shalat fardhu lima waktu berjamaah di masjid, dan diiringi dengan memperbanyak shalat sunnah. Baik sunnah rawatib yang mengiringi shalat fardhu, maupun shalat-shalat sunnah lainnya, seperti dhuha, qiyamul lail, dsb.

    2. Memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid. Bahkan dalam hadits secara khusus hal ini disebutkan oleh Rasulullah SAW (lihat hadits No 1, poin d). Artinya bahwa pada bulan ini kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, khususnya di luar dzikir ba'da shalat. Membaca dzikir pagi dan petang (seperti al-ma'tsurat), juga dapat menjadi salah satu pilihan dzikir yang baik untuk diamalkan di bulan ini. Atau dapat juga dengan dzikir-dzikir lainnya, yang memiliki keutamaan yang besar, seperti mengucapkan subanallah wabihamdihi subanallahil adzim, dsb.

    3. Puasa sunnah, khususnya pada tanggal 9 dzulhijjah (hari Arafah). Karena hari Arafah merupakan hari puncak pelaksanaan ibadah haji, dimana pintu langit seolah dibuka lebar-lebar. Sehingga seakan akan tiada hijab antara seorang hamba dengan Allah SWT, untuk memohon ampunan dan anugerah-Nya. Oleh karenanya bagi kita yang tidak melaksanakan ibadah haji, sangat dianjurkan untuk melaksanakan puasa Arafah, sebagaimana digambarkan dalam sebuah riwayat :

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ - رواه مسلم

Dari Abu Qatadah ra, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, 'Akan menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang.' (HR. Muslim)

Namun yang perlu menjadi catatan adalah bahwa puasa Arafah tidak dianjurkan bahkan dilarang bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat, “bahwa Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari Arafah di Padang Arafah (bagi jamaah haji)” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)

    1. Mengenai puasa di awal bulan dzulhijjah ini, bahkan sebagian ulama menganjurkan untuk melakukan puasa sejak tanggal 1 hingga 9 dzulhijjah. Diantara yang menganjurkannya adalah Imam Nawawi. Walaupun memang (menurut penulis) tidak ada satu riwayatpun yang secara khusus menganjurkan kita untuk berpuasa pada sembilan hari pertama di bulan dzulhijjah ini. Sekiranya pun terdapat riwayat, riwayat tersebut tidak secara tersurat menganjurkan untuk berpuasa sembilan hari di bulan dzulhijjah. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ - رواه الترمذي

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari yang lebih disukai Allah SWT untuk digunakan beribadah sebagaimana halnya hari-hari sepuluh dzulhijjah. Berpuasa pada siang harinya sama dengan berpuasa selama satu tahun dan shalat pada malam harinya sama nilainya dengan mgernajakan shalat pada malam lailatul qadar.” (HR. Turmudzi)

Kendatipun demikian, sekiranya terdapat sebagian kaum muslimin yang mengamalkan puasa tanggal 1 – 9 dzulhijjah maka harus kita hargai, demikian pula apabila terdapat sebagian lainnya yang hanya berpuasa pada tanggal 9 dzulhijjah saja, juga perlu kita hargai. Dan hendaknya kita tidak saling menyalahkan, selama amalan yang kita lakukan masih memiliki dasar dan dalil yang mendukungnya.

    1. Berkurban pada hari Idul Adha atau pada hari-hari tasyrik. Karena berkurban merupakan amalan yang paling penting dan paling utama pada hari raya Idul Adha. Demikian pentingnya, hingga penamaan hari rayanya pun, dinamakan dengan berkurban (Adha), yaitu hari raya qurban. Dan berkurban memiliki satu keistimewaan serta hikmah tersendiri yang sangat mendalam. Namun cukuplah bagi kita tentang keutamaan berkurban, dengan sebuah riwayat sebagai berikut :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ (رواه الترمذي وابن ماجه)

Dari Aiyah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Tidaklah seorang anak cucu Adam melakukan satu amalan pada hari nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah SWT dibandingkan dengan menyembelih hewan qurban. Dan sesungguhnya hewan qurban itu akan datang pada hari qiyamat dengan tanduknya, bulunya dan kukunya. Dan darah hewan qurban itu akan sampai di sisi Allah sebelum sampai ke bumi.” (HR. Turmdzi & Ibnu Majah)

    1. Dianjurkan pula bagi yang ingin berkurban dan telah masuk di bulan dzulhijjah, untuk tidak mencabut rabut atau kuku dari dirinya, hingga dia menyembelih binatang kurbannya. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Jika telah masuk hari sepuluh bulan dzulhijjah, dan salah seorang diantara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia tidak mencabut rambutnya dan memotong kukunya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Dan apabila seseorang baru berniat untuk berkurban di tengah hari-hari yang sepuluh itu, maka hendaknya dia menahan diri (untuk memotong kuku, mencabut rambut dsb) sejak dia niat berkurban.

Hal ini, (salah satu hikmahnya) adalah, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya, sebagaimana dalam Firman Allah. "Artinya : ..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". (Al-Baqarah : 196).

Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

    1. Bertakbir pada hari raya Idul Adha dan pada hari-hari tasyrik. Bahkan takbir sudah dianjurkan sejak subuh pada hari Arafah pada tanggal 9 dzulhijjah, hingga petang di akhir hari tasyrik (13 Dzulhijjah). Bahkan para ulama mengatakan, disunnahkan mengeraskan suaranya bagi orang laki-laki di masjid-masjid, pasar dan rumah-rumah setelah melaksanakan shalat, sebagai pernyataan atas pengagungan kepada Allah serta perwujudan dari rasa syukur kita kepada-Nya.

    2. Melaksanakan shalat Idul Adha, pada hari raya Idul Adha dan mendengarkan khutbahnya. Demikian pentingnya shalat ini, Allah SWT memerintahkan dalam Al-Qur'an :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Rab-mu dan berkurbanlah (QS. Al-Kautsar : 2)

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa hukum shalat Idul Adha adalah sunnah mu'akkadah, dan dianjurkan untuk dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin, laki-laki, perempuan, tua, muda bahkan hambasahaya pun dianjurkan untuk melaksanakannya. Sedikit catatan bahwa dalam pelaksanaan shalat Idul Adha, disunnahkan pula untuk : mandi, memakai wewangian, mengenakan pakaian terbaik, menempuh jalan yang berbeda antara berangkat dan pulang, mendengarkan khutbah, dan juga memperbanyak takbir, dsb.


Wallahu A'lam Bis Shawab.

By. Hilman Ibnu Mahdi ST

Bekerja Dan Berjuang Fi Sabilillah


عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً فَأَيُّ ذَلِكَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ - رواه البخاري

Dari Abu Musa ra bahwasanya seorang pemuda datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, seseorang berperang karena kekesatriaannya, seseorang berperang berperang karena keberaniannya, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian (riya’)? Rasulullah SAW menjawab, “Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah”. (HR. Bukhari)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Keikhlasan bukanlah sesuatu yang sekedar diucapkan atau diniatkan, namun lebih dari itu ia merupakan “energi” untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Apabila niatannya baik, maka ini merupakan pintu gerbang untuk mendapatkan kebaikan dalam amal dan aktivitasnya. Sehingga seseorang perlu untuk menempatkan keikhlasan dalam setiap aktivitasnya termasuk ketika melakukan pekerjaan sehari-hari. Dengan niatan yang baik mengharap ridha Allah SWT, segala pekerjaan akan bernilai ibadah dan menjadi timbangan amal shaleh di akhirat kelak. Sementara apabila niatannya buruk (baca ; tidak ikhlas), maka pada hakekatnya amal dan aktiviasnya tersebut akan sia-sia, karena tidak memiliki nilai apapun di sisi Allah SWT kendatipun ia mendapatkan benefit duniawi, sama seperti benefit duniawi yang juga didapatkan oleh mereka yang ikhlas. Namun ia tidak mendapatkan keridhaan dan pahala dari Allah, sebagaimana yang didapatkan oleh mereka-mereka yang berharap ridha dari Allah SWT.

  2. Keikhlasan akan diuji dengan aktivitas atau amalan tertentu. Sebagai contoh digambarkan dalam hadits di atas bahwa seorang pemuda bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang berperang karena kekesatriaannya (membela bangsanya, sukunya, organisasinya ataupun institusinya), juga seseorang yang berperang karena keberaniaannya (kepatriotismeannya), atau juga seseorang yang berperang karena ia ingin mendapatkan pujian? Hal ini menunjukkan bahwa dalam berjihad (baca ; berperang), yang notabene merupakan bentuk jihad yang paling baik, sangat mungkin seseorang berjihad hanya untuk mendapatkan pujian, atau supaya posisinya dilihat oleh orang lain lalu mendapatkan reward atas hal tersebut, atau juga karena kekesatriaannya lantaran ia merupakan sesepuh, tokoh, atau pahlawan di institusi tertentu? Tanpa menyalahkan salah satunya, Rasulullah SAW meluruskan persepsi pemuda tersebut dengan jawaban beliau “Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka ia fi sabilillah”. Ini menunjukkan bahwa di medan pertempuran niatan akan diuji. Di medan pertempuran, banyak stimulus-stimulus yang menyebabkan keikhlasan menjadi luntur, seperti munculnya emosi ketika melihat tingkah polah musuh yang profokatif misalnya, atau adanya ghanimah (harta rampasan perang) yang sangat menggiurkan, dsb. Namun ternyata hanya orang-orang yang tetap istiqamah untuk menegakkan kalimatullah lah, yang dikategorikan sebagai oarng yang fi sabilillah dan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

  3. Indikator utama dari ketidak ikhlasan adalah adanya tujuan duniawi yang dicari, selain dari keridhaan Allah SWT. Dalam sebuah riwayat disebutkan :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَزَا لاَ يَبْغِيَ إِلاَّ عِقَالاً فَلَهُ مَا نَوَى - رواه النسائي

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berperang hanya untuk mendapatkan tali kekang unta, maka ia hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Nasa’i)


Artinya adalah bahwa seseorang yang berjuang, berhijrah, beramal atau juga bekerja semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi semata, maka ia tidak akan mendapatkan apapun selain dari apa yang telah diniatkannya. Kendatipun pekerjaannya sangat kental dengan nuansa Islami, yang bahkan cenderung “kaya” dengan atribut-atribut keIslaman. Hadits di atas mencontohkannya dengan jihad, yang barang siapa berjihad hanya mengharap untuk mendapatkan ghanimah (tali kekang unta), maka ia tidak akan mendapatkan apapun, selain dari apa yang telah diniatkannya.

  1. Pada hakekatnya pekerjaan yang kita kerjakan sehari-hari merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Karena pekerjaan kita bertujuan untuk menyelamatkan umat Islam dari bahaya RIBA yang sudah menjadi fenomena dimana-mana serta untuk menda’wahkan ekonomi syariah di bumi Indonesia. Pahit, getir, susah, gundah yang lahir dari perjuangan ini (baik yang terjadi di lapangan ketika bergesekan dengan pihak lain, maupun di dalam kantor), demi Allah akan diganti oleh Allah SWT dengan pahala yang jauh lebih mulia dengan segala kesenangan dunia. Mengapa? Karena kita semua sedang berjihad menegakkan kalimatullah. Dan dalam hadits di atas dijelaskan Rasulullah SAW bahwa barang siapa yang berjuang untuk menegakkan kalimatullah, maka ia fi sabilillah...

  2. Untuk itulah, penting bagi kita semua untuk saling mengingatkan agar niat yang ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT akan selalu menjadi obsesi utama kita dalam bekerja dalam rangka menda’wahkan ekonomi syariah di tanah air. Jangan sampai pekerjaan yang sarat dengan nuansa pernjuangan Islam ini, menjadi sirna sia-sia lantaran obsesi dan orientasi kita yang semata-mata ingin mendapatkan benefit duniawi semata (baca ; tali kekang unta). Memang dengan niatan tidak ikhlas pun, kita mendapatkan benefit seperti gaji, remunerasi, bonus, kontes, bantuan uang transport dsb. Namun kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga dan sangat subsatansial dalam perjuangan Islam, yaitu pahala dan keridhaan Allah SWT.

  3. Perlu digarisbawahi pula, bahwa keikhlasan tidak identik dengan pekerjaan yang dilakukan secara serampangan, tidak terkoordinasi, tidak tepat sasaran, semaunya, yang kemudian menghasilkan hasil yang jauh dari harapan. Justru keikhlasan menuntut adanya sikap keprofesionalitasan dalam beribadah dan juga dalam bekerja. Tidakkah kita melihat sosok Umar bin Abdul Azis, yang sangat ikhlas ketika bekerja di pucuk tertinggi di Kekhilafahan Umat Islam (Khilafah Umawiyah). Semua gaji dan bahkan harta kekayaannya dia infakkan fi sabilillah. Dia hidup secukupnya, namun sangat profesional dalam memimpin Umat Islam. Hingga hanya 2,5 tahun saja beliau menjadi Amirul Mu’minin (th 99 – 101 H), dan hasilnya pada waktu itu tidak didapati seorang miskin pun berada di negeri kaum muslimin. Semua orang menjadi makmur dan tentram hidupnya, berkat keprofesionalitasan sang Amirul Mu’minin, Umar bin Abdul Aziz.

  4. Lawan dari keikhlasan adalah riya’. Riya’ adalah mengerjakan sesuatu mengharapkan sesuatu selain dari keridhaan Allah SWT. Apakah mengharapkan pujian, kedudukan yang lebih tinggi, reward yang lebih besar, dikatakan sebagai pahlawan, pemberani, atau tujuan-tujuan lainnya yang bukan kerena mengharap keridhaan Allah SWT. Riya’ akan dapat meluluhlantahkan segala amal dan usaha serta perjuangan yang kita lakukan. Oleh karenanya, hendaknya kita menciptakan suasana bahwa segala pekerjaan dan aktivitas yang kita lakukan adalah semata-mata mengharap kerdihaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya yang paling Aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil.’ Apa itu syirik kecil.’ Sahabat bertanya, ‘Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Beliau menjawab, ‘Riya’. Allah SWT berfirman pada hari kiamat terhadap mereka-mereka yang riya’, “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu di dunia kalian riya’ terhadapnya, apakah kalian mendapatkan pahala dari mereka?” (HR. Ahmad)

Wallahu A’lam bis Shawab

By. Hilman Ibnu Mahdi ST

Keutamaan Bulan Sya'ban


عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَدَّثَتْهُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُولُ خُذُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا - رواه البخاري

Dari Abu Salamah ra bahwa Aisyah ra mengatakan kepadanya, ‘Bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa pada bulan tertentu lebih banyak dari pada puasa beliau di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa penuh di bulan sya’ban. Beliau juga berkata, ‘Kerjakanlah satu amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena sesungguhnya Allah SWT tidak akan pernah bosan hingga kalian bosan. Dan shalat yang paling disukai oleh Nabi Muhammad SAW adalah yang kontinue meskipun sedikit. Dan beliau apabila melaksanakan satu shalat, beliau mengkontinoukannya’. (HR. Bukhari)

Terdapat beberapa ibrah dan hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Keutamaan puasa sunnah di bulan sya’ban. Bahkan digambarkan oleh Aisyah ra dalam hadits di atas, bahwa Rasulullah SAW berpuasa penuh di bulan sya’ban, di mana beliau tidak pernah berpuasa sunnah sebanyak itu di bulan-bulan lainnya. Terdapat cukup banyak hadits-hadits lain dalam kitab-kitab hadits yang menggambarkan mengenai keutamaan di bulan sya’ban. Meskipun pada riwayat yang hampir serupa dengan hadits di atas, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW berpuasa penuh di bulan sya’ban, kecuali sedikit :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً - رواه مسلم

Dari Abu Salamah ra berkata, ‘Aku tidak melihat beliau berpuasa pada bulan-bulan tertentu lebih banyak di bandingkan dengan puasa beliau di bulan sya’ban. Beliau berpuasa penuh di bulan sya’ban, beliau berpuasa di bulan sya’ban kecuali sedikit.’ (HR. Muslim)

  1. Bersamaan dengan hal tersebut, terdapat beberapa riwayat yang secara dzahir terlihat adanya larangan untuk berpuasa di paruh akhir di bulan sya’ban. Diantaranya adalah hadits berikut :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُوْمُوْا - رواه أبو داود

Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila sudah sampai pertengahan bulan sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.’ (HR. Abu Daud)

Namun menurut sebagian besar ulama, diantaranya adalah Ibnu Rajab, dalam Latha’iful Ma’arif Fima Limusimil ‘Am Minal Wadza’if, mengemukakan bahwa, ‘Kebanyakan ulama mendha’ifkan hadits ini.’ Beliau juga mengemukakan mengenai adanya ijma’ ulama untuk tidak beramal dengan hadits tersebut, karena hadits tersebut bertentangan dengan hadits shahih yang bahkan menganjurkan untuk berpuasa penuh di bulan sya’ban.

  1. Hendaknya seorang muslim memberi jarak dalam berpuasa di bulan sya’ban dengan ramadhan. Atau dengan kata lain, tidak menyambung puasa sya’bannya dengan puasa ramadhan. Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW melarang melakukan hal tersebut. Dan cukuplah bagi kita hadits dari Rasulullah SAW berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ - رواه البخاري

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda, ‘Janganlah salah seorang diantara kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka ia boleh berpuasa pada hari tersebut. (HR Bukhari)

  1. Hikmah yang dapat dipetik dari banyak puasa sunnah yang dilakukan Rasulullah SAW pada bulan sya’ban adalah karena ;

    • Bulan sya’ban merupakan bulan diangkatnya amal perbuatan kepada Allah SWT. Dalam sebuah riwayat dikemukakan :

عَنْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ اْلأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Dari Usamah bin Zaid ra berkata, aku bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW, aku tidak melihatmu berpuasa sunnah di bulan-bulan lainnya (sebanyak) engkau berpuasa di bulan sya’ban?’ Beliau bersabda, ‘Ia merupakan bulan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia, yaitu antara rajab dan ramadhan. Dan sya’ban merupakan bulan diangkatnya amal perbuatan manusia kepada Allah SWT, dan aku ingin ketika amalku diangkat dan dilaporkan kepada Allah, aku dalam keadaan berpuasa.’ (HR. Nasa’i)

    • Bulan sya’ban merupakan pintu gerbang menuju sebuah bulan yang agung, yaitu bulan ramadhan. Dan amalan wajib sekaligus amalan paling utama di bulan ramadhan adalah puasa ramadhan. Oleh karenanya setiap muslim harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ‘kompetisi’ kebaikan di bulan ramadhan, diantaranya dengan ‘latihan’ berpuasa sunnah di bulan sya’ban. Mengenai hal ini, Syekh Ibnu Rajab mengemukakan, (al-Wakil, 1997 : 15) : “Sesungguhnya pada puasa sya’ban itu adalah seperti latihan untuk puasa ramadhan. Agar seseorang tidak merasakan kesusahan dan kepayahan dalam berpuasa ramadhan, bahkan sebaliknya ia telah terbiasa dan ternuansakan dengan puasa. Dengan puasa sya’ban inipun, seseorang dapat merasakan manisnya puasa ramadhan. Ia pun melaksanakan kewajiban untuk berpuasa dengan kekuatan dan keenerjikan.”

  1. Sebagian besar masyarakat kita sering melakukan puasa nishfu sya’ban, sementara sebagian lainnya ada pula yang membid’ahkannya. Mengenai hal ini terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah SAW dalam hadits berikut :

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ - رواه ابن ماجه

Dari Ali bin Abi Thalib ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila tiba malam pertengahan bulan Sya’ban, maka shalatlah kalian pada malam harinya dan puasalah kalian pada siang harinya. Karena sesungguhnya Allah SWT turun pada waktu tersebut, pada waktu terbenamnya matahari ke langit dunia, kemudian berfirman, ‘Adakah orang yang memohon ampunan pada-Ku, maka akan Aku ampuni dosa-dosanya. Adakah orang yang meminta rizki pada-Ku, maka akan Aku berikan rizki padanya. Adakah orang yang sakit, maka akan aku sembuhkan dari penyakitnya. Adakah orang yang demikian, maka demikian’, hingga terbitnya matahari. (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini merupakan hadits dhaif, karena dalam hadits ini terdapat ibnu Abi Sabrah dan ia merupakan perawi yang dhaif sebagaimana dikemukakan oleh para Imam Jarh Wa Ta’dil. Kemudian Muhammad bin Muawiyah juga dikatakan oleh para ahli hadits sebagai shuduq yukhti’ yang cukup jauh untuk kekredibilitasan seorang perawi yang tsiqah. Ditambah lagi dengan Muawiyah bin Abdillah bin Ja’far yang hanya maqbul dalam peringkat ta’dil. Oleh karenanya para ulama mengatakan, diantaranya Ibnu Rajab bahwa mengkhususkan berpuasa pada nishfu sya’ban dengan keyakinan memiliki fadhilah tertentu adalah tidak ada dasar nash shahihnya. Meskipun melaksanakannya diperbolehkan mengingat nishfu sya’ban berada di bulan sya’ban, dimana Rasulullah SAW banyak berpuasa pada bulan tersebut dan karena nishfu sya’ban berada diantara hari-hari ayyamul baidh yang kita dianjurkan untuk berpuasa sunnah setiap bulannya.

  1. Terakhir adalah, bahwa Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita untuk melakukan suatu amalan dengan langgeng dan kontinyu meskipun hanya sedikit. Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwa ketika beliau ditanya tentang amalan yang paling dicintai Allah SWT, beliau menjawab, ‘Amalan yang paling langgeng meskipun sedikit.’ (HR. Bukhari). Oleh karenanya hendaknya kita memprogram setiap aktivitas ibadah kita, agar dapat dilaksanakan secara terus menerus dan langgeng.


Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Hilman Ibnu Mahdi ST

Rahasia Kebahagiaan Hidup

عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَاقَ طَعْمَ اْلإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً - رواه مسلم، والترمذي وأحمد
Dari Al-Abbas bin Abdil Mutallib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "akan merasakan indahnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabnya, Islam sebagai agamanya dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul utasan Allah SWT. (HR. Muslim, Turmudzi dan Ahmad)

Hadits yang singkat ini memiliki makna yang sangat mendalam tentang hakekat kehidupan, khususnya tentang rahasia kebahagiaan hidup, yaitu sebagai berikut :

1. Bahwa dalam kehidupan ini terdapat banyak orang yang tidak bisa merasakan kebahagiaan, kendatipun hidupnya dipenuhi dengan segala kesenangan dunia, seperti harta kekayaan yang melimpah, jabatan yang tinggi atau memiliki polularitas. Hal ini adalah karena adanya perbedaan yang sangat substansial, antara kebahagiaan dengan kesenangan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang relatif tidak terlalu disenangi banyak orang untuk dilakukan, cenderung tidak menyenangkan, namun sesungguhnya memiliki dampak jangka panjang yang sangat menguntungkan bahkan akan membahagiakan. Seperti giat beribadah, shalat malam, puasa senin kamis, menabung, menjaga nilai kejujuran, kerjasama, dsb. Sedangkan kesenangan adalah sesuatu yang relatif disenangi oleh banyak orang untuk dilakukan, menyenangkan, namun memiliki dampak yang relatif negatif bagi kehidupan, bahkan cenderung menjerumuskan lalu menyengsarakan kehidupannya. Seperti tabdzir (boros), bermalas-malasan sambil menonton film, merokok, selingkuh, korupsi, dsb. Singkatnya, kesenangan cenderung bersifat jangka pendek, sedangkan kebahagiaan lebih bersifat jangka panjang. Dan kehidupan dunia, merupakan kehdiupan yang cenderung berisi dengan kesenangan-kesenagan jangkpa pendek. Oleh karena itulah kita Allah SWT mengategorikan bahwa kehidupan dunia adalah kesenangan yang melalaikan (QS. Al-Hadid/ 57 : 20)

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

2. Orang yang terlena dengan kehidupan dunia dan lupa akan tujuan hidupnya, maka ia tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. Sebagaimana dijelaskan dialam ayat di atas, bahwa kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu. Sebaliknya, orang yang berbahagia adalah orang yang tidak mau tertipu dengan kesenangan dunia, ia tetap mengambilnya, namun ja jadikan sebagai sarana menggapai kebahagiaan sejati. Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa orang yang mendapatkan kebahagiaan, "tidak boleh" mengejar kehidupan dunia.

3. Salah satu penyebab manusia tidak mendapatkan kebahagiaan adalah karena adanya pandangan bahwa kebahagiaan identik dengan kepemilikan harta dan jabatan. Seolah tanpa harta dan jabatan, orang tidak akan bahagia. Contohnya adalah orang yang tidak memiliki mobil, rumah atau yang lainnya dan sangat berobsesi untuk memiliki itu semua. Ia merasa bahwa apabila telah memiliki itu semua, ia akan bahagia. Padahal, belum tentu dengan memiliki hal tersebut hidupnya akan bahagia. Bahkan bisa jadi, ia semakin susah karena harus mengeluarkan biaya perawatan yang jauh lebih mahal.

4. Kunci kebahagiaan sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas adalah "keridhaan". Ridha adalah krelaan, keikhlasan, menerima dengan sepenuh hati atas apapun yang Allah berikan kepadanya. Orang yang ridha, pasti bahagia. Al-kisah, ada seorang lelaki tua yang bertani dan kehidupannya sangat sederhana. Ia hanya memiliki satu rumah terbuat dari gubug kayu, memiliki seorang istri, dua orang anak dan satu buah sepeda tua. Suatu ketika, ia pergi besama anak dan istrinya naik sepeda ke sebuah taman. Sesampainya di taman tersebut, ia bermain bola bersama mereka. Ia tertawa riang bersama keluarganya. Tidak lama kemudian datanglah seorang laki-laki bermobil mewah menghampirinya, lalu ia berkata, "Saya perhatikan dari tadi Bapak kelihatannya bahagia sekali, kalau boleh saya tahu, apa pekerjaan Bapak ya?" Bapak tua menjawab, saya hanya seorang petani kangkung yang setiap hari membawa hasil pertanian saya ke pasar lalu saya menjualnya di pasar. Setelah terjual, hasilnya saya gunakan untuk memberikan nafkah kepada keluarga saya." Lelaki bermobil mewah bertanya kembali, seberapa banyak kangkung yang Bapak jual setiap hari? Ia menjawab, "Tergantung hasilnya Pak, tapi rata-rata antara 20 sampai 30 ikat. Dan satu ikatnya saya jual Rp 500,-" Lelaki tersebut kemudian bertanya, "Tidakkah bapak meminta pembiayaan dari Bank saja?" "Untuk apa?" jawab lelaki tua. "Supaya bapak bisa menambah modal pertanian bapak." "Lalu untuk apa,?" tanyanya lagi. Lelaki tersebut menjawab, "Supaya Bapak bisa menanam lebih banyak kangkung, dan bisa menjual lebih banyak ke pasar." Lalu untuk apa? tanya Bapak tua lagi. "Kalau bapak menjual banyak, tentu bapak akan mendapatkan uang lebih banyak." Jawab lelaki bermobil mewah tersebut. "Lalu untuk apa?" jawab Bapak tua lagi. "Kalau bapak membawa uang lebih banyak, kehidupan bapak akan menjadi bahagia." Kata lelaki tersebut. Kemudian Bapak tua dengan tenaang menjawab, dengan jawaban yang tidak akan pernah dilupakan lalaki tersebut. Katanya "Saya rasa saya tidak memerlukan hal itu.,Pak. Karena jika yang dituju adalah kebahagiaan, maka alhamdulillah hidup saya sudah bahagia."

5. Hadits di atas menjelaskan, bahwa kunci kebagiaan (yang dibahasakan dalam hadits dengan istilah "merasakan manisnya iman") adalah ridha dengan sepenuh hati terhadap tiga hal : Pertama : ridha terhadap Allah SWT sebagai Rabnya, Kedua, ridha bahwa Islam sebagai agamanya dan Ketiga ridha Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul utusan Allah SWT.

6. Ridha Allah sebagai Rabnya, adalah bahwa ia ridha Allah menjadi seorang hamba Allah, atas segala apapun yang Allah berikan kepadanya. Ia ridha terhadap itu semua dan tidak "menduakan" Allah dengan sesuatu apapun juga. Karena ia sangat yakin, bahwa apapun yang Allah berikan kepadanya adalah anugerah terbaik bagi kehidupannya. Dengan pemahaman seperti ini, ia akan menerima apapun yang terjadi dengan lapang dada dan sepenuh hati.

7. Rahasia kedua adalah ridaha Islam sebagai agamanya, maksudnya ia ridha agama Islam adalah satu-satunya agama yang dijalankan untuk mengatur kehidupannya dalam segala aspeknya ; sosial, politik, ekonomi, budaya, dsb. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah SWT " Wahaiorang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kaffah. Dan janganlahkalian mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu merupakan musuh yang nyata bagi kalian." (QS. Al-Baqarah/ 2 : 208) Ia yakin, bahwa sistem Islam merupakan sistem yang mampu membawa kebahagiaan hakiki bagi manusia untuk kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat, baik dalam skala individu maupun dalam skala sosial yang lebih luas. Serta tidak ada satu ajaran agama manapun yang mampu unutk mewujudkan hal tersebut, selain agama Islam.

8. Rahasia kebahagiaan ketiga adalah ridha nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan utusan Allah. Artinya ia ridha, nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah yang diutus kepada seluruh umat manusia, dan mengantarkan mereka dari kehidupan yang gelap gulita menuju pada kehidupan yang penuh dengan kecemerlangan. Ia ridha dengan segala ajaran dan nilai-nilai yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW (sunnah), baik sunnah dalam kehidupan pribadi, sosial kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan yang lebih luas ; berbangsa dan bernegara bahkan dalam cakupan internasional.

9. Itulah kunci kebahagiaan hidup; kata kuncinya adalah ridha. Dan cakupan dari ridha itu merambah pada tiga aspek besar ; Ridha Allah sebagai Rabnya, Ridha Islam sebagai agamanya dan Ridha Nabi Muhammad sebagai Nabi utusan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Sudahkah anda bahagia? Jika belum, mulailah dari sekarang untuk "ridha". Insya Allah mulai hari ini juga hidup anda akan bahagia, selama-lamanya...


Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Hilman Ibnu mahdi ST

Menghindarkan Diri Dari Sifat Kemunafikan


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ - متفق عليه
Dari Abu Hurairah ra; dari Rasulullah SAW beliau bersabda, “Ciri-ciri orang munafik ada tiga; apabila berbicara ia berdusta; apabila berjanji ia mengingkari ; dan apabila diberi amanah ia berkhianat. (Muttafaqun Alaih)

Dalam hadits yang singkat ini, terdapat makna yang mendalam dan hikmah yang dapat dijadikan pelajaran. Diantara makna dan hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Rasulullah SAW menggambarkan mengenai sifat-sifat dan sikap yang tercela dan harus dihindari oleh setiap muslim. Sifat-sifat tersebut adalah berdusta, ingkar janji dan berkhianat. Karena ternyata ketiga sifat ini selain merugikan dalam kehidupan sosial terhadap orang lain, juga karena ketiga sifat ini merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang munafik. Oleh karenanya Rasulullah SAW mengatakan bahwa tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; yaitu berdusta, ingkar janji dan berkhianat. Agar jangan sampai seorang muslim terperosok pada ketiga sifat tersebut.

2. Hadits di atas juga secara tegas yang jelas menjelaskan ciri dan karakter mendasar orang munafik, yang dari zaman ke zaman dan dari tempat ke tempat memiliki kesamaan. Karena sifat kemunafikan ini bersumber dari lemahnya keimanan dan motivasi duniawi yang tinggi. Sehingga ketika ia berbuat sesuatu, yang dilihatnya adalah untung rugi dan maslahat untuk dirinya pribadi, tanpa perduli dengan orang lain.

3. Sifat pertama orang munafik adalah berdusta. Rasulullah SAW menggambarkannya dengan ungkapan, “apabila berbicara berdusta.” Berdusta adalah mengemukakan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Dan sifat seperti ini sangat dicela oleh Islam, dan merupakan dosa besar. Dalam hadits lain Rasulullah SAW berkata :
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ - رواه البخاري
Dari Abu Bakrah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu dosa-dosa yang paling besar?” Sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah SAW.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” (belaiu berdiri dan kemudian duduk) lalu mengatakan, dan perkataan dusta.” Abu Bakrah mengatakan, “beliau mengulang-ulang kata ini sampai-sampai aku berkata, sekiranya beliau diam” (HR. Bukhari)

4. Sifat kedua adalah ingkar janji. Sementara janji itu adalah hutang yang harus ditepati oleh orang yang berjanji. Bahkan dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan tentang sifat-sifat orang yang bertakwa. Dan diantara sifat-sifat mereka adalah ( الوفاء بالعهد ) menepati janji. Dan orang munafik senantiasa tidak dapat menepati janjinya, mereka selalu ingkar terhadap janjinya.

5. Sifat ketiga dari sifat orang munafik adalah apabila diberi amanah ia berkhianat. Berkhianat dalam artian ia tidak menjalankan atau melaksanakan amanah yang telah diembankan kepadanya. Amanah itu berfariasi sebagaimana berfariasinya kehidupan di duniawi. Terkadang amanah dapat berbentuk pekerjaan, harta benda, waktu, ilmu, dan lain sebagainya. Bahkan kehidupan di dunia inipun sesungguhnya amanah Allah yang diembankan kepada seluruh umat manusia. Dan orang munafik senantiasa tidak dapat melaksanakan segala amanah yang diembankan kepada dirinya.

6. Inilah ketiga sifat buruk yang juga merupakan sifat munafik yang harus dihindari secara total dari diri kaum muslimin. Bahkan jika terdapat salah satunya saja, itu berarti bahwa dalam diri kita terdapat salah satu sifat kemunafikan yang harus dihindarkan. Karena jika salah satu sifat itu melekat pada diri kita, itu mencerminkan adanya “kekurangan” dalam keimanan kita.



Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Hilman Ibnu Mahdi ST

Berusaha Menghindari Sifat Sombong


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ - رواه مسلم
Dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dzurrah berupa kesombongan.” Seorang sahabat bertanya, (wahai Rasulullah SAW) bagaimana jika seseorang menginginkan pakaiannya bagus dan alas kakinya bagus?. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Adapun kesombongan adalah menentang kebenaran dan merendahkan manusia. (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kesombongan merupakan sikap yang tidak terpuji, yang berakibat pada diharamkannya seseorang dari surga Allah SWT. Karena kesombongan akan membawa dampak negatif baik bagi diri pribadi seseorang yang sombong tersebut, terlebih-lebih bagi orang lain. Karena dari kesombongan ini akan melahirkan rasa sakit hati, tidak suka dan penghindaran orang lain terhadapnya serta dampak-dampak negatif lainnya.

2. Hakekat kesombongan adalah seseorang yang tidak mau menerima kebenaran (baca ; al-haq) dan senantiasa merendahkan orang lain. Artinya manakala kebenaran itu telah Allah tampakkan dengan jelas didepan matanya, namun ternyata ia tetap mengingkarinya dan senantiasa bergelut dengan kebathilannya tersebut. Selain itu, masuk juga dalam kategori kesombongan adalah seseorang yang senantiasa merendahkan orang lain, dan merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain.

3. Memiliki pakaian yang bagus dan alas kaki yang bagus bukanlah merupakan suatu kesombongan. Rasulullah SAW dengan jelas mengatakan dalam hadits di atas bahwa Allah itu Maha Indah dan sangat menyukai keindahan. Jadi kesombongan bukan terletak pada pakaian atau alas kaki seseorang, namun kesombongan muncul dari hati, yang tercerminkan secara dzahir berupa penentangan terhadap Al-Haq dan sikap merendahkan orang lain yang berarti dia merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain.

4. Hakekat ini juga memberikan arti bagi kita bahwa seseorang diperbolehkan memiliki kekayaan yang lebih, yang salah satu bentuknya adalah memiliki pakaian dan alas kaki yang indah yang dikenakannya. Sifat seperti ini tidak termasuk dalam kesombongan selagi ia tidak mengingkari kebenaran dan merendahkan orang lain. Namun sebaliknya jika seseorang yang bahkan tidak memiliki pakaian dan alas kaki yang bagus, namun ia mengingkari kebenaran dan senantiasa merendahkan orang lain, maka ini merupakan bentuk kesombongan.

5.Kesombongan tidak ada artinya sama sekali bagi manusia. Karena di dunia dirinya akan dibenci orang, sementara di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam api neraka, na’udzu billah min dzalik :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ada tiga golongan yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka, tidak mensucikan mereka, tidak melihat pada mereka dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih; orang tua yang berzina, raja yang pendusta dan orang miskin yang sombong. (HR. Muslim)


Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Hilman Ibnu Mahdi ST

Menjadi Pemimpin Dalam Segala Aspek Kehidupan


عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِِ - رواه البخاري

Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah SAW bersabda. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang Imam (pimpinan) adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang khadim (pembantu) adalah pemimpin pada harta tuannya (majikannya), dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”(HR. Bukhari, Muslim, Turmudzi, Abu Daud & Ahmad bin Hambal)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah :
1. Hakekat kepemimpinan dalam Islam. Seorang pemimpin dalam Islam, bukanlah sekedar seseorang yang diangkat untuk menempati jabatan kepemimpinan tertentu, seperti jabatan presiden misalnya. Namun pemimpin adalah seseorang yang mendapatkan suatu amamat yang harus dikerjakan dan dilaksanakannya, kendatipun kecilnya amanat tersebut. Karena apa yang diamanatkan kepada dirinya, akan dimintai pertanggun jawabannya oleh Allah SWT secara keseluruhan tanpa terkecuali.

2. Manhaj Rasulullah SAW dalam mentarbiyah para sahabatnya. Beliau senantiasa menanamkan rasa “kepemimpinan”, pada hati setiap sahabatnya. Contohnya adalah hadits ini, yang menanamkan rasa “kepemimpinan” sahabat, kendatipun ia hanya sebagai seorang khadim (pembantu), atau hanya sebagai seorang suami dan juga bahkan jika ia hanya sebagai seorang istri di rumah suaminya.

3. Persamaan tanggung jawab insan di hadapan Allah SWT. Karena semua manusia akan kembali kepadanya, kendatipun tingginya kedudukan yang dimilikinya di dunia ini. Seorang khadim, belum tentu ia lebih hina di akhirat dibandingkan dengan majikannya. Seorang istri yang hanya sebagai ibu rumah tangga, bisa jadi ia lebih mulia dibandingkan dengan seorang presiden yang memimpin sebuah negara. Namun mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu pertanggung jawaban yang sama atas amanat yang Allah berikannya pada mereka. Inilah bukti keadilan Islam.

4. Antara Imam (pemimpin) dan khadim (pelayan). Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mendahulukan menyebut “Imam”, kemudian mengakhirkan menyebut “Khadim”. Hikmah dari mengawalkan imam dan mengakhirkan khadim adalah karena kecendrungan manusia yang sering silau dengan jabatan. Manusia berlomba-lomba mencari jabatan yang paling tinggi di kehidupan dunia ini, karena dipandang sebagai satu kemuliaan. Padahal semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin besar tanggung jawab yang akan dipikulnya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits umpamanya, Rasulullah SAW mengatakan :
قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ - رواه مسلم
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan amanat kepadanya berupa rakyat yang dipimpinnya kemudian ia mati dan pada saat ia mati ia berbuat kecurangan terhadap rakyatnya, melainkan Allah akan haramkan baginya surga (HR. Muslim)

5. Setiap muslim harus berhati hati terhadap profesi apapun yang diembannya; apakah sebagai karyawan, pedagang, buruh pabrik, ibu rumah tangga, pembantu, tukang kebun, supir taksi, pengurus masjid, marbot masjid, bendahara yayasan, anggota dewan, pejabat, kepala sekolah dan lain sebagainya. Karena pada hakekatnya ia sedang memimpin pada “amanahnya” tersebut. Jika tidak berhati-hati, maka ia akan mendapatkan azab, karena lalai dalam menjalankan amanahnya.

Wallahu A’lam
By. Hilman Ibnu Mahdi ST

Tiga Jalan Menuju Surga


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلاَمٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ياَأَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ - رواه الترمذي وأحمد والدارمي

Dari Abdullah bin Salam ra, Rasulullah SAW bersabda,”Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makan (kepada orang yang membutuhkannya), dan shalatlah kalian di saat manusia tertidur di kegelapan malam, maka kalian akan masuk surga dengan selamat.
(HR. Turmudzi, Ahmad & Darimi)

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW menginformasikan kepada kita tiga jalan menuju syurga Allah dengan selamat. Ketiga hal tersebut adalah:

1. (إفشاء السلام) Menyebarkan Salam.
Memberikan/ mengucapkan salam merupakan salah satu syiar Islam dan juga sunnah Rasulullah SAW. Bahkan dalam salah satu haditsnya Rasulullah SAW menggambarkan bahwa salam merupakan cara paling efektif untuk menumbuhkan rasa Ukhuwah Islamiyah dan cinta sesama muslim. Dan ternyata di samping segala keutamaannya, menyebarkan salam juga dapat mengantarkan seseorang pada pintu syurga yang senantiasa menjadi idaman setiap orang yang beriman :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ - رواه مسلم
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan pada sesuatu, jika dilaksanakan maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian” (HR Muslim)

Mengucapkan salam juga dapat menghilangkan rasa ‘ketidak sukaan’ seorang muslim terhadap muslim lainnya. Mengucapkan salam juga bisa mengobati rasa ‘rindu’ seorang al-akh terhadap al-akh lainnya. Mengucapkan salam juga dapat mengantarkan sebuah masyarakat menjadi masyarakat Islami, mengantarkan sebuah bangsa menjadi bangsa yang madani, karena salam juga berarti perdamaian dan kesejahteraan.

2. (إطعام الطعام) Memberikan Makan (kepada orang yang membutuhkannya)
Hal kedua yang dapat mengantarkan seseoarng pada pintu gerbang syurga adalah dengan memberikan makan kepada orang yang membutuhkannya. Memberikan makan merupakan gambaran yang baik suatu masyarakat yang Islami. Di mana setiap anggota masyarakat saling memiliki rasa keterikatan dan persaudaraan, sehingga setiap orang tidak rela manakala ada saudaranya (baca; tetangganya) kelaparan dan kesusahan. Memberikan makan ini juga tidak harus berupa barang yang bersifat makanan. Namun dapat juga berupa bantuan lain berupa pertolongan, bantuan keuangan, dan lain sebagainya. Memberikan makan ini juga impllikasi dari sunnah Rasulullah SAW yang lainnya, yaitu bahwa ‘tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah.’ (HR. Bukhari). Dan Insya Allah orang yang suka memberi, akan Allah gantikan untuknya dengan sesuatu yang lebih baik lagi, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

3. (صلوا والناس نيام) Shalat di Keheningan Malam
Hal ketiga yang digambarkan Rasulullah SAW agar seseorang dapat mencapai gerbang syurga dengan selamat adalah shalat tahajud di keheningan malam. Shalat di keheningan malam, terutama di saat-saat manusia tengah terlelap dengan mimpinya; merupakan gambaran nyata kecintaan seorang hamba terhadap Allah SWT. Saat-saat tengah malam merupakan saat-saat yang paling berat, untuk meniggalkan tempat tidur menuju tempat whudu guna mensucikan jiwa menghadap Allah SWT. Dan saat-saat seperti inilah merupakan waktu yang paling efektif untuk mengisi ruhiyah dengan pancaran keimanan dari Allah SWT. Bahkan begitu berharganya waktu seperti ini, salah seroang ulama mengistilahkannya dengan “Addaqa’iq Al-Ghaliyah” (detik-detik yang sangat mahal). Karena di saat inilah, Allah membuka lebar-lebar para hamba yang memohon pada Diri-Nya. Oleh karena itulah, sebagai seorang muslim sejati, marilah kita berupaya untuk dapat mengamalkan “amalan” yang diajarkan oleh Rasulullah SAW ini. Mudah-mudahan kita semua termasuk hamba-hamba yang kelak Allah berikan kenikmatan berupa surga. Amiin…

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Hilman Ibnu Mahdi ST

Hijrah & Pribadi Muslim


حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ - رواه جماعة

Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, 'Seorang muslim adalah seseroang yang menjadikan muslim lainnya selamat dari lisan dan tangan (perbuatannya). Sedangkan muhajir (orang yang hijrah) adalah seseorang yang meniggalkan sesuatu yang diharamkan Allah SWT. (HR. Jamaah).

Terdapat beberapa hikmah penting yang dapat dipetik dari hadits di atas :
1.Jatidiri seorang mu'min.
Setiap muslim digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang yang keberadaan dan kehadirannya menyejukkan dan orang lain. Kata-katanya terjaga, ucapannya sopan santun, statementnya menentramkan, tingkah lakunya menyenangkan hati, perbuatannya membawa manfaat, tingkah lakunya membawa maslahat, bahkan keberadaannya selalu menjadi solusi dan perekat bagi umat secara umum. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa seorang muslim tidak pernah melakukan satu kesalahan. Karena bagaimanapun juga manusia pasti pernah melakukan kesalahan :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ - رواه الترمذي

Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Semua anak cucu adam itu pasti pernah melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat. (HR. Turmudzi).

2.Muamalah antara sesama kaum muslimin.
Oleh karenanya, setiap muslim juga harus berhati-hati dalam berinteraksi dengan muslim lainnya. Jangan sampai perbuatannya, tingkah lakunya atau perkataan dan ucapannya menjadi 'penyebab' keretakan di kalangan umat. Saling memfitnah, menuduh, mencaci, dsb. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan, 'Setiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram; darahnya, hartanya dan kehormatannya.' (HR. Muslim).

3.Makna Hijrah.
Selanjutnya Rasulullah SAW menegaskan mengenai makna hijrah. Bahwa hijrah pada hakekatnya adalah berhijrah (baca ; meninggalkan) segala sesuatu yang dilarang/ diharamkan oleh syariah. Baik yang menyangkut aspek hubungan sosial, ekonomi, bisnis, suami istri, dsb. Hal ini juga diperkuat dengan hadits lainnya dari Rasulullah SAW bahwa 'Tidak ada hijrah setelah fathu Makah, namun yang ada adalah jihad dan niat.' (HR Bukhari). Meskipun dalam kondisi tertentu, sesoerang diharuskan untuk berhijrah secara makani, jika tempat tinggalnya yang ada sekarang tidak membawa kemaslahatan dalam beribadah kepada Allah SWT, bahkan selalu membawa pada kemadharatan dan keburukan.

4.Keterkaitan Hijrah Dengan Keikhlasan
Hal ini terlihat dari hadits niat yang disampaikan Rasulullah SAW dalam hadits yang sangat masyhur; 'Bahwasanya segala amal perbuatan manusia itu tergantung niatnya..." HR Jamaah. Menurut beberapa ahli hadits, bahwa asbabul wurud hadits tersebut adalah kisah seseorang yang berhijarh, karena ingin menikahi seorang sahabiah yang bernama Ummu Qais. Karena Ummu Qais ikut berhijrah bersama Rasulullah SAW, sementara orang ini karena ingin menikahi Ummu Qais, akhirnya juga turut berhijrah. Namun niatan hijrahnya bukan karena ingin mendapatkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya, malainkan ingin menikahi Ummu Qais. Sehingga ia masyhur dengan julukan muhajir Ummu Qais. Dan kaitan dengan hal tersebut, maka hendaknya setiap muslim memperhatikan niatnya dalam setiap aktivitasnya. Jangan sampai niatnya tercampur dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Hilman Ibnu Mahdi ST